Tumpek Bubuh / Tumpek Wariga Mengingatkan Umat untuk Merawat Alam

UMAT Hindu setiap enam bulan sekali selalu diingatkan betapa pentingnya melestarikan lingkungan (tumbuh-tumbuhan), melalui perayaan Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag atau sering juga disebut Tumpek Bubuh dan Tumpek Wariga. Tumpek Bubuh yang siklusnya datang setiap 210 hari itu kembali diperingati secara ritual oleh umat Hindu, Sabtu Kliwon Wuku Wariga ini.

Prosesi ini digelar sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Ida Sang Hyang Widi, Tuhan Yang Mahakuasa, dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara, karena umat telah diberkahi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan. Di Bali, perayaan Tumpek Wariga dilakukan dalam bentuk ritual yang menggunakan bebantenan dengan materi pokok berupa bubur. Apa makna perayaan Tumpek Wariga?

Dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Drs. Wayan Budi Utama, Jumat (16/4) kemarin mengatakan, secara filosofi ritual Tumpek Wariga ini sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia Hyang Widhi Wasa berupa berbagai jenis makanan yang dihasilkan oleh tanam-tanaman. Ritual ini juga disertai harapan agar tanam-tanaman dapat menghasilkan dengan baik, sebab 25 harinya lagi adalah perayaan hari raya Galungan. Buah-buahan yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan itu akan digunakan oleh umat untuk kepentingan merayakan Galungan.

Ritual ini sesungguhnya mengingatkan kita bahwa manusia harus merawat alam dan manusia tak akan bisa hidup dengan baik tanpa didukung oleh lingkungan yang sehat. Lingkungan hidup yang baik adalah sumber kehidupan bagi manusia. Oleh karena itu agama Hindu selalu mengingatkan tentang hal ini melalui perayaan Tumpek Wariga. ''Namun selalu saja terjadi kesenjangan antara ajaran secara ortodoksi dengan ortopraksis,'' kata Ketua Program S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi.

Oleh karena itu, tegas Budi Utama, Tumpek Wariga harus dijadikan momentum untuk menyadarkan kita akan betapa pentingnya tanam-tanaman dalam arti luas, sebagai sumber makanan dan sumber zat asam yang sehat bagi kelangsungan hidup manusia.

Cintailah lingkungan kita demi generasi muda yang sehat dan cerdas. Tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah menyelamatkan pertanian kita. Tiap orang wajib menanam dan merawat tanamannya. Terpenting lagi agar tanaman bisa menghasilkan sumber makanan yang sehat bagi tubuh manusia, kendalikanlah penggunaan pestisida dan zat kimia lainnya. Kita perlu kembali ke pertanian organik dalam rangka mengembalikan kesehatan tanah yang pada akhirnya berpengaruh baik bagi kesehatan manusia.

Hal yang sama dikatakan dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Wayan Suadnyana, S.Ag. bahwa perayaan Tumpek Bubuh ini mengingatkan umat manusia agar selalu merawat alam dalam hal ini tumbuh-tumbuhan penghasil sumber makanan dan sumber oksigen. Melalui perayaan Tumpek Bubuh ini umat Hindu diingatkan untuk selalu menjaga hubungan harmonis dengan palemahan (alam), selain menjaga hubungan harmonis dengan parahyangan dan pawongan dalam konsep Tri Hita Karana. Namun, dalam perayaan ini umat hendaknya tidak hanya berhenti pada tataran ritual, tetapi perlu diikuti dengan tindakan merawat alam dengan cara melakukan penanaman pohon.

Melalui perayaan Tumpek Bubuh ini sejatinya umat diingatkan betapa pentingnya merawat alam dengan menanam tumbuh-tumbuhan. ''Tak hanya tumbuhan yang buahnya berguna untuk sumber makanan, tetapi juga pohon-pohon untuk menjaga keseimbangan alam menghasilkan oksigen dan menyerap polusi udara,'' kata Suadnyana yang Sekretaris Jurusan Penerangan Fakultas Dharma Duta IHDN ini.

Secara ritual umat mengungkapkan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas anugerah berupa berbagai tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan berbagai jenis makanan baik untuk manusia maupun binatang.

Berbicara tumbuh-tumbuhan, tentu tak bisa dilepaskan dengan dunia pertanian. Kini ketika sektor pertanian kurang diminati generasi muda, tampaknya sistem pengetahuan tentang pertanian di masa lalu perlu direvitalisasi. Sebab, orang Bali telah dikenal memiliki pengetahuan yang mumpuni di bidang pertanian. Melalui perayaan Tumpek Uduh inilah masyarakat Bali perlu melakukan perenungan intelektual untuk membangkitkan sektor pertanian.

''Dengan bangkitnya sektor pertanian, diharapkan alam Bali semakin lestari,'' kata agamawan IBG Agastia belum lama ini. Dikatakannya, Tumpek Uduh atau Timpek Wariga amat strategis dijadikan momen untuk melakukan perenungan intelektual tentang masa depan pertanian Bali. Pun, pertanian merupakan puncak peradaban Bali dan Indonesia.

Sementara itu, orang Bali memiliki pemahaman yang baik tentang musim tanam, memiliki manajemen atau pengaturan air yang baik lewat organisasi tradisional bernama subak, memahami tata ruang yang baik, paham tentang kemiringan tanah sehingga dibuat sawah-sawah teras sering. Dengan, dibuat sawah-sawah berundak seperti itu, air tertampung dengan baik, tidak mengalir begitu saja di permukaan tanah.

''Jadi, leluhur orang Bali sesungguhnya telah memiliki pengetahuan yang tinggi di bidang pertanian. Karena itu pengetahuan itu penting direvitalisasi,'' katanya.

sumber : http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=33769

0 comments:

Post a Comment